Selasa, 09 Agustus 2011

Kumpulan Cerpen

HATI YANG GERSANG

Oleh: Mahmudiono

Kehidupan Andi bagai dalam hutan belantara sunyi namun kadang mencekam atau dalam ruang hampa sunyi dan sepi. Rumah mewah bertingkat tiga. Segala fasilitas lengkap dan mempesona. Halaman luas dihiasi bungah berwarna-warni, kicauan burung koleksi cantik dan menarik bersuara merdu, seta kolam renang luas dan terasa segar airnya melengkapi indahnya tempat kediaman anak semata wayang. Hari-harinya dihabiskan hanya berdua dengan pembantu bernama mang Dadang. Mang Dadang pembantu di rumah ini sudah agak tua. Ia sudah lama berkerja sejak Andi masih kecil. Andi dianggap seperti anaknya sendiri. Segala kebutuhan Andi selalu dipenuhi. Mang Dadang sangat menyayangi dan mengasihi Andi. Andi anak semata wayang orang kaya. Mama dan papanya sibuk dengan urusan perusahaanya. Mereka jarang bertemu. Berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam, bahkan sering tidak pulang beberapa hari mengurusi bisnis masing-masing. Hari-harinya Andi bersama Mang Dadang sehingga Andi lebih sayang kepada pembantunya yang dianggap orang tuanya sendiri.

Sore itu cuaca cerah. Daun-daun tampak ceria menyambut malam. Burung-burung pun ikut bersuka cita. Semilir angin mengenai wajah Andi yang bermalas-malasan di kursi taman habis pulang sekolah. Mang Dadang keluar dari dalam menyapa Andi. ”Den, sudah Mamang siapkan air panas, mandi dulu ya?” kata mang Danang. ”Nanti mang.” sahut Andi ”Mang, apa Papa dan Mama belum pulang?” ”Belum den” jawab mang Dadang. ”Apa mama dan papa tidak ingin bertemu dengan aku? Kenapa mereka selalu sibuk, dan sibuk” sampai tidak ada waktu lagi buat aku. ” ” Apa aku bukan anak mereka”. ”Jangan begitu Den, Den Andi memang anak kandung dan anak satu-satunya Papa dan Mama. Mamang sudah lama ikut keluarga Aden, sejak Papa Aden masih muda. ”Aden mandi dan istirahat dulu ya?” ”ya, Mang, makasih. ”Aku tidur di kursih ini aja”. Semilir angin dan merdunya burung di taman rumah yang mewah itu membuat Andi tertidur pulas di kursi semalam.

Kehidupan keluarga Andi sangat sunyi. Harta yang berlimpah tidak menjadi jaminan untuk hidup bahagia. Andi tidur pulas. Rupanya ia capek karena kegiatan di sekolah. Mang Dadang semalaman menjaga Andi sambil ikut merasakan kesepian dan kepedihan yang dirasakan Andi. Sebenarnya tidak tega membangunkan, tetapi demi masa depan Andi akhirnya Mamang membangunkannya. ”Andi sudah siang, apa tidak sekolah?” Andi terlihat malas. Beberapa kali dibangunkan dengan lembut dan sabar oleh mang Dadang Andi tetap memanjakan tidurnya dengan selimut dan bantal yang di bawahkan mang Dadang. Namun akhirnya bangun. Motivasi Andi untuk sekolah sangat rendah. ”Malas Mang, untuk apa sekolah, Mama dan Papa aja tidak mau tahu aku”. Dengan malas Andi berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian Andi berangkat ke sekolah. ”Mang aku berangkat” ” Ya, Den!” sahut mang Dadang, sambil melihat dengan rasa iba.

Mamang hanya sendiri mengurus rumah yang luas dan dipenuhi perabot rumah tangga yang bernilai tinggi. Sambil membersihkan lantai dan mengelap sofa di ruangan, Mang Dadang memikirkan nasip Andi yang berbeda dengan anak-anak kebanyakan.

Matahari sudah memancarkan sinarnya. Burung-burung berkicau dengan riang menyampaikan kepada semua teman dan isi jagad raya bahwa waktunya untuk bertebaran melakukan kegiatan. Suara pertkutut yang lembu menyejukkan suasana pagi. Demikian pula tidak kalah Jalak Bali yang merdu mendayu-dayu mengingatkan akan tugas dan kewajiban insan harus saling tolong menolong dan saling menyayangi. Mamang hanya sendiri duduk-duduk melepas lelah setelah bekerja seharian. Mamang pun ketiduran di teras dengan semilir angin. Datanglah mobil Inova hitam bernomor B 120285 EW, berhenti di depan rumah mewah itu. Rupanya juragan Hery dan Tety, papa dan mama Andi. Kedua orang itu bergegas masuk rumah. Melihat mamang tertidur pulas, tuan Tety membangunkan mamang dengan marah-marah. ”Mang, Mang bangun.” sampai beberpa kali. ” Apa saja tugas mamang. Apa hanya tidur aja?” mamang Dadang terkejut dan mengusap mata. Dada mamang berdegap kencang. Sambil mengusap matanya yang baru terlelap. ”Maaf Den, maaf Den.” ”Kemana Andi?” tanya Papa Andi. ”Maaf Den.” Den Andi tadi pagi ke sekolah, sampai sekarang belum pulang.” ”Kenapa sampai sekarang belum pulang?” ”Mamang harus cari!, Cepat cari sekarang Mang!” ”cari kemana den” Pokoknya cari sampai ketemu.” Mang Dadang langsung bergegas ke luar untuk mencari Andi. Mang Dadang bingung ke mana harus mencari. Mang Dadang berpikir sejanak dalam perjalanan. Mamang menuju ke sekolah Andi. Beberapa lama kemudian Mamang sampai ke sekolah Andi. Tetapi sekolah sudah sepi hanya ada satpam yang duduk di pos. ”Pak apa semua siswa sudah pulang?” Tanya Mamang. ” Sudah, Pak” jawab satpam. Mamang jadi bingung kemana harus mencari Andi. Mamang tetap mencari Andi. Dengan tubuh yang sudah lelah, kaos oblong warna putih dan celana komprang yang menjadi pakaian keseharian menemani perjalanan mencari Andi. Mamang berjalan menyusuri jalan-jalan kota. Bagi Mamang pulang tanpa Andi adalah masalah besar. Rupanya mamang tahu bagaimana watak juragannya. Mamang sudah bosan dengan marah-marahnya. Kemana mamang harus menemukan Andi. Waktu berjalan terus. Matahari semakin jauh meninggalkan hiruk pikuk siang hari. Cahaya yang semakin redup membuat alam semakain gelap. Cahaya lampu sedikit mengembalikan gelapnya malam. Setelah lelah mencari, betapa senangnya mang Dadang ketika melihat Andi ditemukan duduk di trotoar sambil mengisap rokok. Lega rasanya. Keduanya langsung saling melepas kangen dan sejenak dalam kegundaan. ”Kenapa den Andi tidak pulang?” Mamang jadi kepikiran di rumah” tanya Mang Dadang, sambil meneteskan air mata. ”Mama dan Papa marah, mencari Aden,” Mengapa Mama dan Papa marah, apa selama ini saya diperhatikan. ”Apa selama ini mereka mengerti keadaan saya!” tidak kan Mang” tanya Andi kepada Mamang kembali dengan wajah kesal dan marah. ”Mamang aja yang pulang, katakan kepada mereka saya tidak betah di rumah.” Andi langsung bergegas berjalan meninggalkan pembatu yang setia menenaminya. ”Den, Den, Den Andi, mau kemana, ayo pulang?” ” Maaf Mang, aku malas, saya tidak mau pulang..!” sambil sedikit lari Andi menjawabnya. Sekejab bayagan Andi tertutup oleh hingar bingar kota dan lalu lalang mobil dengan cahaya lampu yang menyilaukan mata. Mamang sedih dan ada rasa takut. Perasaan khawatir dimarahi oleh juragannya. Lelaki yang hampir setengah abad itu pun berjalan pulang. Kelelahan, kekecewaan serta beban berat yang ditanggungnya membuat Mang Dadang terlihat semakin tua. Sesekali ia berhenti sambil menolah ke belakang kali-kali Andi berubah pikiran mau diajak pulang. Tetapi sia-sia.

Malampun dilalui keluarga Andi dengan gunda penuh amarah. Sementara Mang Dadang yang merasa bertanggung jawab semalaman tidak dapat memejamkan mata, tidur di pertokohan. Sementara Andi menghabiskan malam di jalan-jalan yang dilewati. Dengan pakaian sekolah yang masih menempel di tubuhnya, ia menelusuri malam dengan sejuta kekecewaan. Sesekali dia berjam-jam duduk di tepi dan melihat arus deras sungai. Ia terus memikirkan nasib dirinya mengapa tidak seperti yang dialami oleh teman-temannya. Tiba-tiba datanglah teman-teman Andi. Nizam, Amin dan Alman adalah teman-teman Andi saat masih sekolah. Mereka sudah dikeluarkan dari sekolah karena kasus merokok di kelas dan banyak kasus yang lain. Mereka kini menjadi pengamen jalanan. Tempat mangkal mereka biasanya di pertigaan lampu merah di keramaian kota. Mereka pun tidak menyangka melihat Andi anak orang kaya yang kediginan. ”Hai Andi ya,...?” ada apa di sini?” ”Lihat friend teman kita, sepertinya punya masalah.” kata Nizam sambil melihat ke teman-temannya. Andi masih diam, malu dan ada peraaan tidak enak. ”Iya... Andi bilang aja kepada kami, kalau masalah cewek, kecil..” sambil menunjukkan jari kelingkingnya. ” Ayo...friend katakan aja, kitakan teman. Teman itu harus saling berbagi suka dan duka, iya kan friend?” ”Iya...betul....” ”Terima kasih teman-teman, kalian baik sekali, tapi biarkan kami di sini, kali lain aja.” ”Oke...tak tunggu.” ”Ayo...friend cabut!” Nizam dan teman-temannya pergi meninggalkan Andi. Sambil tertawa-tawa melinggalkan Andi. Berlalu menuju menuju pertigaan kota, tempat mereka mangkal. Andi masih diam sambil memikirkan teman-temannya yang bebas, bisa apa saja yang mereka mau. Mata Andi pun terlihat redup, berat terkena semilir angin malam, akhirnya tertidur.

Malam yang kelam bagi keluarga Andi. Malam itu terasa beda. Sepi dan mencekam. Tidak ada sinar yang mewarnai malam. Bulan enggan menampakkan kecantikanya. Bintang-bintang pun muram durja. Sang bintang muak dengan malam yang yang tidak berkesan. Bergegaslah sang mentari tampakkan keperkasaanya. Sinari dunia dengan cahaya terangnya. Hari itu udara terasa dingin. Semalaman rintik hujan membasahi kota ini. Andi tertidur pulas di teras tokoh di tengah kota. Hanya beralas koran dan berbantal tas dan sepatu. Malang benar nasib Andi. Burung-burung mengabarkan pada orang-orang yang melewati jalan kota bahwa waktu yang tepat untuk memulai bekerja. Lalat-lalat pun ikut membisikkan kepada Andi bahwa hari sudah siang. Matahari merangkak perlahan pancaran matanya menghangatkan suasana pagi. Andi terusik dengan sapaan lalat yang menempel di wajahnya. Bangunlah ia dengan wajah yang kusut, kumal dan bauh. Tengok kanan tengok kiri, sesekali menguap. Ia terlihat masih mengantuk. Ia hanya menatap sekitar dengan tatapan yang hampa. Ia berpikir mengapa ia terbagun begitu singkat kalau hanya kebaradaanya tidak ada cinta dan kasih sayang. Kendaraan sudah tampak berlalu lalang. Suara bising dan hiruk pikuk kota membuat Andi semakin bingung. Andi menggerakkan kakinya perlahan tanpa arah pasti. Tampak dari wajahnya ia bimbang ke mana arah kaki harus di langkahkan. Ia menyusuri ke arah utara menuju pertigaan lampu merah di kota itu. Rupanya pikiran Andi ke teman-temanya yang perna menitipkan kepadanya. Mereka adalah Nizam dan kawan-kawannya. Diperjalanan perut Andi terasa lapar. Andi sesekali memegangi perut dan dicarinya uang di dompet dan saku tidak ditemukan uang yang bisa digunakan membeli nasi. Hanya tersisa uang recehan. Andi duduk di depan warung di pinggir jalan. Ia hanya melihat dan merasakan kelaparan. Ia pun berjalan masuk ke warung nasi dengan kata yang pelan dan lirih meminta nasih kepada pemilik warung” Buk berikan dan lauk seadanya” saya hanya punya HP ini buk”. Kemudian pemilik warung nasi itu memberikan nasi itu. ”Anak ini dari mana dan mau ke mana?” tanya ibu pemilik warung. ” Entahlah buk, saya keluar dari rumah karena tidak betah. Orang tua saya tidak perna memperhatikan saya, Buk?” Mapa dan Papa sibuk. Andi makan dengan lahapnya. Setelah minum air putih Andi pun bermaksud membayar tapi dengan HP-nya. ”Tidak usah nak, tidak apa-apa ibu ikhlas kok” tegas ibu pemilik warung nasi. ”Terima kasih Buk.” Andi berjalan menyusuri jalan trotoar kota. Sesekali ia duduk di bangku halte sambil menundukkan kepala memikirkan nasib dirinya. Bisingnya kota pun beriring dengan cahaya lampu kota yang mulai berkerlap kerlip hiasi malam. Andik duduk di dekat pertigaan. Dari arah depan dari kejauhan teman-temannya mendekat. ” Hai friend selamat datang dan bergabung dengan kami” sambut Nizam. ”Ayo teman rayakan kebahagiaan ini, berikan makanan dan minuman terbaik untuk teman kita”. Andi pun dengan lemas dan sudah tidak ada harapan masa depan, menerima tawaran dari teman-temanya. Minuman itu membuat Andi ketagihan. Bergabunglah Andi dengan Nizam dan kawan-kawan. Hari-harinya dihabiskan pertigaan lampu merah tengah kota. Mengamen, membersihkan kaca dan berdagang stiker.

Tak terasa pergantian malam, pagi dan siang begitu cepat. Sudah satu minggu Andi hidup tak tahu arah dan tujuan di jalan dengan teman-temannya. Kehidupan jalanan yang keras tak terasa dialami Andi. Angin malam dan kerasnya kehidupan kota menjadi hal yang biasa. Pakaian Andi pun berganti mengikuti pakaian yang dikenakan teman-temannya.

Sementara kedua orang tua Andi sudah kesana kemari mencari di mana keberadaan Andi. Ke sekolah menemui guru-guru dan teman-teman Andi pun sudah di lakukan kedua orang tua Andi. Begitu pula Mang Dadang jatuh sakit setelah tidak bisa membawa Andi pulang. Enta bagaimana perasaan kedua orang tua Andi di rumah. Rumah yang mewah itu kini bagaikan neraka. Kedua orang tua itu hari-harinya bertengkar saling menyalahkan. Entah sampai kapan mereka menyadari.

Sementara Andi sudah membolos selama dua minggu. Guru dan teman-temanya pun merasa kasihan dan berharap Andi kembali ke sekolah. Tetapi Andi tidak merasa kalau guru dan teman-temanya benar-benar mengharapkan kembali. Rupanya yang merasa kehilangan Andi bukan hanya keluarganya tetapi Rere pun teryata terpukul hatinya. Rere yang nama lengkapnya Ratna Regina hari-harinya di rumah maupun di sekolah terlihat diam dan menyendiri. Teman sekelasnya sudah tahu kalau ia memang dekat dengan Andi. Kehilangan Andi cowok yang menjadi bagian dari hatinya mengubah keceriaan dan sikap cewek berkulit putih dan berjilbab itu.

Sementara itu Andi larut dalam pelarian kekecewaan kedua orang tuanya. Rupanya malam itu cukup menyenangkan buat Andi dan kawan-kawannya. Rupanya mereka habis pesta minuman sehingga Andi tertidur pulas di tepi jalan sampai pagi di tinggalkan teman-temanya. Kabut pagi membuat kulit Andi kedinginan dan pindah ke teras tokoh dekat pertigaan.

Ismail yang biasa berangkat melewati jalan itu, terkejut dan tidak menyangka melihat Andi duduk di teras toko. ” An..kenapa kamu di sini?” tanya Ismail. Andi yang masih terlihat mengantuk merasa malu menjawab. ”Katakan Andi, mungkin saya bisa membantu?” Andi menangis terisak-isak sambil menundukkan kepala. Sementara Mail mencoba meringankan beban dan penderitaan Andi dengan mencoba menghibur. Akhirnya Andi menceritakan semua yang dialami. Ismail yang mendengarkan cerita Andi ikut merasakan penderitaan dan kesedihan. Mata Mail pun berkaca-kaca. Sesekali Mail mengisap air mata tidak tegah mendengarkan cerita Andi. Andi membujuk agar Mail mau tinggal bersama di rumahnya. Akhirnya Andi diajak ke rumah Mail. Rumah Mail tidak jauh dari kota. Melewati gang-gang kampung sampailah Andi dan Mail ke rumahnya. ”Asalamu’alikum, Mak, Mak,Mak, aku datang Mak?” ”Waalikum salam, Mail!” kenapa pulang?” ya Mak. ”Siapa temanmu ini?” Ia teman Mail Mak, bolehkan tinggal di sini Mak?” boleh saja, tetapi rumahnya jelek!”. Terimah kasih Mak, saya boleh tinggal di sini? ”Boleh, boleh asal nak..nak.. ”Andi Mak” sahut Mail.

Andi dan Mail kini bersama. Andi mulai bisa tersenyum. Kadang terdengar tertawanya yang lama tidak terdengar. ”Malam itu Andi dan Mail tertidur pulas setelah bermain dan belajar bersama. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Mak Ijah sudah terbiasa bangun pagi megikuti solat berjamaah di langgar dekat rumahnya bersama Pak Samat suaminya. Masak dan mempersiapkan makanan untuk anaknya dilakukan dengan ihklas. Mail juga terbiasa bagun untuk mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Gemercik air utuk di samping rumah selalu terdengar. Burung-burung menyuarakan lagu indah menyambut pagi penuh harapan. Mail mencoba membagunkan Andi. Walau awalnya sulit akhirnya Andi terbiasa dan mengikuti Mail. Setelah bersalaman dengan Mak Ijah dan Pak Samat berangkatlah mereka ke sekolah dengan wajah-wajah riang gembira. Di keluarga Mail, Andi terasa dilahirkan kembali. Ia menganggap Mak Ijah dan Pak Samat adalah orang tuanya sendiri. Walau di sini tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari sangat pas-pasan dan harus dicari dengan susah payah. Pak Samat tiap hari rajin membantu Mak Ijah mencari kayu sepulang narik. Pak Samat sangat sehat, tubuhnya masih kuat untuk menarik becak tiap hari. Begitu juga bagi kedua orang tua ini merasakan kebahagiaan yang sangat besar setelah kehadiran Andi. Ismail yang tiap hari hanya bermain dan belajar sendiri, kini ia serasa mempunyai saudara.

Tak terasa kebahagiaan keluarga ini sudah tiga minggu. Sepulang sekolah Andi dan Ismail menghabiskan waktunya sejenak di perempatan tidak jauh dari sekolahnya menjual koran. Dengan riang gembira dijalaninya pekerjaan ini setiap hari. Rupanya keberadaan Andi diketahui oleh orang tuanya. Orang tua Andi memantau kedua anak itu pulang dengan mobil mewahnya. Kedua orang tua Andi dengan seksama memperhatikan ke mana mereka berdua menyusuri jalan dan gang menuju tempat tinggalnya Andi selama ini.

Sampailah Andi dan Mail di rumah. Mereka sesekali bernyayi, tertawa dan bergurau. Mak Ijah terdengar manawarkan makanan yang sudah disediakan di mejah makan dekat dapur. ”Mail, Andi....ikanya ambil di atas lemari!” kata Mak Ijah. ”Ya....Mak...” Ternyata orang tua Andi mendegarkan percakapan mereka. Kedua orang tua ini tertegun, tesenyu dan merasa bersalah. Mama Andi meneteskan air mata melihat anaknya hidup bahagia dengan orang lain di tempat yang jauh dari layak. Setelah menunggu waktu yang tepat kedua orang tua itu memberanikan diri masuk ke rumah yang terbuat dari bambu, berlantai tanah dan beratap kardus. Mendekatlah kedua orang tua itu menuju rumah yang ditempati Andi. Mak Ijah bengambil air dari sumur di depan rumah untuk mengisi bak mandi. Tubuhnya yang dimakan usia tidak bisa berdiri tegak, tetapi ada semangat hidup demi anaknya. Kedua orang tua itu menyapa mak Ijah ”Assalamu’alaikum, Assalamu’alaikum Buk, permisi” sapa kedua orang tua Andi. ”Wa’alaikum salam, Nyonya dan Tuan. ”Ada apa ya..” tanya Mak Ijah, silahkan masuk!” ”Ada apa ya?” ”Maaf Buk, di jalan tadi, melihat anak kami Andi menuju ke rumah ini, kami ingin menemui Andi Buk.” ”Andi, ...Andi anak Tuan!” ”Ya..Buk. ”Sebentar ya, saya panggilkan Andi. ”Andi, Andi.. ke mari” ”Ya..Mak!” sahur Andi di belakang rumah. ” ” Ada apa, Mak?” Andi terkejut, dihadapanya ada kedua orang tuanya. Mama Andi langsung mendekap Andi sambil memohon maaf. Air mata perempuan itu berlinang. Kedua orang tua itu mengungkapkan penyesalannya. ”Andi maafkan mama, Mama berjanji tidak akan meninggalkan Andi lagi.” Mama akan menemani Andi di rumah, biarlah Papa yang bekerja.” seru mama Andi sambil mendekap Andi. ”Ya Andi, Mama dan Papa sudah sadar bahwa kebahagiaan tidak diukur dari harta semata”. ”Oleh karena itu Mama bersedia keluar dari pekerjaan, demi Andi.” Kedua orang tua dan anak larut dalam kerinduan dan penyesalan akan kesalahan. Sementara Mak Ijah dan Mail hanya melihat mereka dengan haru. Mak Ijah mendekap pundak Ismail, sesekali mereka saling melihat karena terharu. ”Mak, kami sekeluarga mengucapkan terima kasih, atas kebaikan Mak sekeluarga. ”Kami tidak akan melupakan kebaikan Mak sekeluarga.” Oleh karena itu izinkan kami untuk membiayai Ismail sekolah”, ”Biarlah Andi dan Ismail selalu bersama.” Kami senang Andi dapat teman yang baik dan menyenangkan, Mak”. Akhirnya keluarga Andi meninggalkan keluarga Mak Ijah dengan haru dan tampak linangan air mata.

Andi dan Mail selalu berama di sekolah dan di setiap kegiatan. Meraka pun saling kunjung dan saling menyayangi. Meraka seperti saudara. Keluarga Andi sangat berbahagia. Hari-harinya kini penuh dengan kasih sayang, keceriaan, senyum dan tertawa riang. Begitu pun keluarga Ismail, mak Ijah walau tidak lagi selalu bersama Andi, Mak Ijah dan Pak Samad merasa diringankan dalam biaya sekolah Ismail. Itulah buah dari keihklasan. TAMAT. Dion 72

SINOPSIS

HATI YANG GERSANG

Andi dilahirkan di keluarga yang seba ada. Harta berlimpah dan semua ada mungkin dambaan semua orang. Orang pasti mengira pasti hidupnya akan berbahagia. Namun tidak demikian pada Andi. Andi seperti dalam kesendirian, kesepaian dan kehampaan. Sementara kedua orang tuanya sibuk dn sibuk menumpuk harta. Bersaing dan berlomba dalam mengeruk harta melupakan anak sematawayangnya. Tetapi bagi Andi harta tidak bermakna apa-apa. Hari-harinya dihabiskan dan dilayani bersama pembantu. Andi berontak dan tidak batah hidup seperti dalam hutan belantara. Andi memutuskan untuk tidak pulang. Ia berjalan tanpa arah. Hanya ditemani hati yang lara dan kebencian terhadap kedua orang tuanya.

Pengalaman hidup ia alami di jalan raya kota yang penuh kekerasan dan tantangan. Menjadi pengamen jalanan dan minum-minuman keras ia lakukan. Tidur di pinggir jalan, kelaparan dan serba kekurangan ia alami. Mungkin ini pelarian. Beruntunglah Tuhan mengirim seorang sahabat yang dapat menolong dari maslahnya. Ia adalah Ismail. Ismail walau hidupnya serba kekurangan dari keluarga tidak mampu namun ia mempunyai cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Akhirnya diajaklah Andi bersama Ismail hidup di rumah sederhana dan penuh kerja keras. Andi merasa menemukan semangat hidup di keluarga sederhana ini.
Sementara itu kedua orang tua Andi sudah ke mana-mana mencari. Hari-harinya dilewti di jalan-jalan demi menemukan anak kesayangannya. Tuhan Maha Pengasih dan Penyanyang. Usaha kedua oranr tua Andi menemukan titik terang ketika melihat Andi dan Ismail berjualan koran di jalan. Kedua orang tua itu membuntuti kedua sahabat itu sampai ke rumah sederhana, jauh dari ke ramaian kota. Rumah yang terbuat dari bambu dikelilingi pohon pisang dan beberpa pohon mangga membuat udara sejuk dan nyaman. Dengan berat kedua orang tua Andi menghampiri nenek tua yaitu Ibunya Ismail sedang menimba air dari sumur. Terharu sekali pertemuan mereka. Air mata dan isak tangis mewarnai petemuan itu. Permohonan maaf terlontar dari bibir kredua orang tua Andi. Kahirnya Andi dan Ismail menjadi sahabat dan tinggal di rumah Andi. Kedua orang tua Andi membalas budi Mak Ijah dan Pak Samat dengan menyekolahkan Ismail sampai menjadi orang yang sukses. Berbahagilah kembali keluarga Andi. Mentari Bersinar Kembali. Sekian.

Gejola Hati

Oleh: Dion

Perkenalanku dengan dia sebenarnya belum lama. Ia bekerja di sebuah perusaahaan terkenal yang berada di ibu kota. Entah kebelulan atau memang takdir mempertemukan kami. Bermula dari suatu kegitan yang diadakan oleh induk perusahaan yang mengadakan pameran hasil karya masing-masing perusahaan. Saya ditugaskan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Begitu juga dirinya. Saya akui ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti kegitan ini. Saya sibuk memberikan bimbingan kepada anak buah sebelum digelar penilaian, begitu juga dia. Saya lihat dia begitu linca, mempesona, wibawa dan sangat dekat dengan anak buahnya. Sebenarnta aku ingin kenal dia, tapi gak ada keberanian. Abis ini pengalaman pertamaku. Ya..walau aku sebenarnya gak ada modal. Aku beranikan diri untuk berkenalan. “Maaf, Mbak pendamping ya?” Ia menjawab dengan santai dan senyum. Dan aku tanya ini dan itu. Dia pun enak diajak ngobrol. Senyum dan pancaran matanya sangat berkesan. Dia tidak sombong dan supel dalam bergaul. Dia terlihat dewasa terlihat dari sikap dan cara bergaul. Dia emang lebih tua dari aku dua tahun. Tapi tidak menghalangiku untuk berhubungan. Bahkan aku belajar banyak dari dia tentang segala hal. Perkenalan kami sebenarnya sangat singkat, karena sibuk dengan persiapan masing-masing. Perkenalan waktu itu tidak terpikir kalau dilanjutkan pada pertemuan berikutnya.

Setelah pertemuan itu kami tidak ada kontak lagi. Sibuk dengan urusan masing-masing. Selang beberapa bulan. Dian, ya itulah nama yang ia perkenalkan waktu itu. Nama yang sederahana sepadan dengan orangnya. Dian kembali hadir di saat aku benar-benar membutuhkan. Sosok yang bisa meberikan ilmu yang lebih banyak. Dari mana ia tahu nomor telepon perusahaan aku. Ia mengajak untuk bergabung di kegiatan yang dapat menambah pengetahuan dan skill gitulah katanya. Tanpa pikir panjang aku terima. Aku tidak tahu apa kegaiatannya. Tapi aku percaya kalau dia yang mengajak yakin baik.

Kami akhirnya berkomunikasi intens untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Dari Hp akhirnya pertemuan ke pertemuan kami lakukan. Kegiatan ini membuat kami semakin dekat. Rasa yang semula biasa-biasa saja, kini semakin dekat dan ingin selalu ada. Rasa itu sengaja aku pendam. Dengan rasa itu aku termotivasi dan selalu ada disetiap kegiatan. Rasa itu membuat aku tenang dan damai disaat dia ada di sampingku. Waktu pertemuan yang hanya sekali sepekan sangat singkat untuk memendam rasa cinta. Aku sebenarya malu. Malu dengan rasa itu yang kembali ada. Rasa itu seharusnya ada pada usia remaja. Usiaku yang tidak remaja lagi mengapa menyimpan sejuta cinta. Mungkin ini seri kedua dari perjalanan usiaku. Rasa itu terus aku simpan. Dia mungkin tidak menyangkah kalau aku selama ini yang setia menemani dia, terukir rasa sayang dan ingin selalu bersama. Aku memang tidak berani manyatakannya. Tapi aku nayatakan rasa itu dengan membatunya dalam setiap kegaiatan. Seakan aku terkena guna-guna atau hipnotis. Aku curahkan tenaga, waktu dan pikirannku hanya agar dia senang. Itulah yang dapat aku lakukan.

Waktu terus berjalan. Dari kegiatan ke kegiatan kami menyambung rasa yang terpendam. Sampai akhirnya rasa itu tidak dapat kami diamkan. Pada suatu pertemuan, kebetulan peserta yang lain sudah pada pulang, kami tinggal berdua di ruangan. Jantungku berdebar keras ingin ungkapkan dengan tegas, tapi masih ragu dan takut dikira mengada-ada. Aku beranikan diri tuk nayakan perasaan hatiku di depannya. Perasaan berkecamuk ingin ungkapkan semua. Tapi sulit. Hanya nafas yang mencoba untuk sampaikan isi hatiku kepadanya. Kata itu, walau terpenggal dan terpata-pata, aku sampaikan. Dia memandang aku, menatap mataku dengan penuh perasaan, benarkah yang aku akatakan dan mengapa itu ada. Aku dekati dia aku coba yakinkan, aku pegang tangannya. Enta perasaan apa yang ada di hatinya. Dia memandang aku dengan penuh rasa. Dia mungkin tidak percaya kalau perasaan itu terlontar dari bibir aku.

Perjalanan cinta kami terasa sangat indah. Hari-hariku berbunga. Kalimat-kalimat cinta terus mengihiasi ponsel kami. Kata mesra tak bosan kami sampaikan. Kerinduan selalu menghinggapi hati dan jiwa bila lama tidak bertemu. Bayangan wajahnya selalu menghiasi disetiap malam dan kesendirianku menghaantarkan sang rembulan menyinari bumi. Mimpi indah dengannya menjadikan tidurku berkesan dan mata terbuka denga senyum. Kini dia benar-benar mengaharap dapat bersama di setiap waktu. Di selah-selah kesibukan kami menyempatkan bertemu tuk melepas rasa kangen. Dari peremuan itulah kami ngobrol tentang tugas dan pekerjaan masing-masing. Cerita teman di kantor, pekerjaan yang rumit dan sebel dengan lingkungan. Pokoknya banyak yang dibicarakan. Dia sering curhat walau lewat ponselnya bahwa dia ingin aku selalu meyayanginya, “Aq ingin pean syg aq trus, bolehkh qpinta?ato qtrllu brlbihan? ”Apa aq Gk boleh kgn?gk mau ta?yo kgn,sls kn hanya brtemu sesaat”. Dari isi sms tersebut aku mengetahui betapa besar cinta dia kepad aku. Enta berapa puluh sms yang terkirim di ponsel aku. Berapa kata kalimat yang terukir dengan indah walau lewat ponselnya. Ponsel sangat membantu kami menyampaikan isi hati walau hanya untaian kata.

Kami sadar bahwa perkenalan kami sangat singkat untuk mengukur kelanjutan hubungan kami. Kami saling mengerti demi sedikit kelebihan dan kekurangan. Kami menyadari keterbatasan dan keberadaaan masing-masing. Komitemen untuk selalu saling mendukung dan memberi motivasi dalam kegiatan yang kami lakukan. Kami seakan tidak dapat dipisahkan.

Kisa rimatis kami semakin erat ketika dapat tugas dari perusahaan. Aku dan dia dikirim untuk mengikuti pelatihan di Bogor. Suasana alam yang indah membuat gelora asamara kami bergejolak. Bus mengantarkan kami menuju ke kota hujan ini. Kaca jendela bus sesekali menjadi jeda pembeicaraan kami. Suasana Bus yang sesak tidak menjadi masalah. Naik turun penumpang. Kondektor yang rajin menarik kardis. Dan Pengamen yang silih berganti menperdengarkan lagu-lagu sosial dan cintanya, menjadi saksi perjalan kami menuju tempat pelatiha. Ternyata waktu begitu singkat. Bus mengantarkan kami di terminal dekat kota. Rupanya tempat pelatihan kami harus ditempuh dengan ojek. Gak papalah, yang penting nyampek. Kami pun bergegas cek in, harus ngisi adtaministasi. Kegembiraan kami bertambah karena perserta dari berbagai daerah. Dapat teman baru dan saling informasi. Perjalanan indah satukan hati dua manusia

Kegiatan pelatian ini rencana berlangsung tiga hari. Hari-hari aku lalaui dengan semangat. Dia selalu berdampingan dengan aku ketika menerima materi dan mengerjakan tugas-tugas. Senyum dan sorotan matanya selalu jadi penyejuk dan inspirasi aku. Waktu seakan begitu cepat. Sementara aku ingin selalu bersama. Malamnya pun tidak lepas dari curhat isi hati walalu lewar ponsel. Sampai tak terasa keguatan itu di akhiri. Angkut mengantarkan kami ke terminal kota. Tak lama Bus kota mengantarkan kami ke kota asal. Kali ini penumpang semakin sesak. Kami naik dengan barang bawaan agak sulit mencari tempat. Hanya satu tempat duduk.. Aku duduk di belakang sela dua deret tempat duduk dari dia. Hujan mengiringi. Juga para penjaja makanan, tukang amen silih berganti. Rupanya Bus kali ini tidak langsung sampai kota kami. Kami harus pindah ke Bus lain. Tak jadi masalah. Rupaya perpindahan Bus membuat kami berbunga-bunga. Bus kedua yang kami tumpangi rupanya masih kosong enta berapa lama. Kami naik sehingga dapat satu tempat duduk berdampingan. Indahnya saat itu. Bus kosong ditinggal sopir dan kondektur sibuk mencari penumpang. Kami hanya bisa membatu pak sopir dengan setia tidak pindah bus. Seperti biasa dia menatap dengan senyum khasnya. Aku pun membalasnya. Aku lihat dia begitu ceria dan ada cinta. Aku coba memegang tanganya. Dia pun membalas. Saling nanya persaan dan seberapa besarnya.

Satu dua tinga penumpang mulai masuk. Kami hanya bisa berdoa agar penumpang agak lama. Mungkin sudah dibatasi waktu. Walau bus masih kosong sopir memberikan isyarat akan berangkat. Hati kecilku berharap pelan-pelan pak sopir biar kami bisa berlama-lama. Dalam kebahagiaan, dia terus mengalirkan jerat rasa lewat pori-pori tangan tuk disampaikan ke jantung berupa getaran rasa. Akhirya pada hati yang menerima kehadiran cinta. Cinta itu kini tumbuh dan bersemi walau tidak muda lagi.

Untuk Sahabat

Matahari telah tenggelam di ufuk timur. Senja telah berganti kelam. Sang surya telah hilang dan dewi malam muncul dari balik panggungnya. Gelap telah menyelimutiku. Namun aku tetap tak beranjak dari tempat ini. Tempat yang sangat indah bagiku. Tempat yang mempunyai semua kisah dalam kehidupanku dulu. Tempat yang menjadi saksi bisu kehidupanku. Karena disinilah awal semuanya. Pertama kali aku merasa punya hidup. Pertama kali aku merasa bahwa hidup sangat berharga bagiku. Dan disinilah aku pertama kali mengenal-Mu. Di kota Pahlawan yang sangat aku banggakan. Kota yang sudah 3 tahun aku tinggalkan dan aku kenang.Dalam kegelapan malam dan pancaran sinar bulan, ku termenung dalam lamunan sepiku. Ku terhanyut dalam sukmaku. Malam seolah membuka kembali memoriku. Memori yang sudah lama terpendam dalam pikiran dan hatiku. @@@5 tahun lalu…Saat itu matahari telah kembali ke paraduannya. Sang malampun muncul dari biliknya. Kegelapan mulai menakuti kota pahlawan ini. Namun, warga kota pahlawan tak akan pernah takut akan kegelapan itu. Karena sebenarnya gelap dapat melindungi mereka dari kelelahan dan kehangatan. Aku merasakan kehangatan malam itu. Begitu hangat hingga aku gak bisa melukiskan indahnya malam itu. Hangatnya merasuk di dalam jiwa dan relung hatiku. Hari itu adalah hari ulang tahunku. Aku gak tau kalau sahabat dan orang terdekatku ternyata punya rencana besar untukku. Mereka telah merancang acara ulang tahunku tanpa sepengetahuanku. Semuanya begitu sempurna di mataku. Aku benar – benar terkejut atas semua ini. Aku sangat bangga dan salut pada mereka. Dan aku sayang banget ma mereka.“ Happy birthday Chezy. Moga – moga Tuhan memberkatimu, dan semua yang kamu ingin dapat terkabulkan dan juga semoga tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya..” Ucap cowok Indo-Swiss ini.Namanya Alexandro Tarakanito. Dia adalah sepupu terbaikku. Umurnya tak jauh beda denganku, tapi dia tak mau kuangap anak kecil. Dia ingin dianggap sebagai orang dewasa (meskipun semua orang tahu kalau aku sebenarnya dia itu masih kecil). Alex cukup terkenal di sekolahnya. Dia anak yang perfect di mata para cewek. Tapi dia gak mau pacaran dulu, karena dia ingin membaktikan diri pada Tuhan. Aku salut pada dia. Orang bilang dia adalah pastour masa depan. “Thank you. You’re the best deh! Thank’s banget yah! Aku gak tahu mesti ngomong apa lagi. Huf, gak bisa diungkapin deh, Lex.” Ucapku sambil cipika cipiki. “Chezy… happy birthday yah! Semoga Tuhan memberikan yang terbaik buat kamu.” Nah ini ucapan selamat dari my best friend. Cewek cantik dengan jilbab ini, satu – satunya sahabatku dari kecil. Namanya Asti Wulan Korining Sukanti. Dia tahu semuanya tentang aku. Dia juga yang paling bisa memahami aku. Meskipun kita beda kepercayaan, tapi itu gak buat kita menjauh. Aku juga sangat sayang ma dia.“Thank’s swity. Aku gak nyangka banget lho semua ini ulah kalian. Padahal tadi di sekolah sikap kamu biasa – biasa aja. Oh ya, mana Evan? Kok dia belum keliatan?” Tanyaku agak heran. Soalnya dari tadi aku belum lihat cowok keren itu. Dia juga sahabatku. Malahan aku lebih kenal lama dengan Si Evan ini.. Dari SD sampai SMA ini, kita satu sekolah terus dan secara dia juga tetanggaku. Jadinya hubungan keluarga kami otomatis sangat akrab. Sebenarnya sih bosan juga. Masa dimana tempat aku selalu ketemu dan bareng ma Evan? Dulu malah pernah temanku bilang kalau aku ma Evan ini sodara kembar yang beda keluarga. Tapi kalau di perhatikan dengan seksama emang benar sih. Soalnya wajah kita hampir mirip sih. Aku sayang banget ma dia. Sebenarnya aku udah lama aku naksir dia, tapi aku gak berani buat nembak dia duluan (kan jadi cewek harus jaim donk! Tul gak?). Lagipula, aku gak mau merusak persahabatan kita yang udah lama kita jalin ini. Cukup sebatas sahabat saja, jangan lebih. Dan juga kami beda kepercayaan. Evan menganut agama islam, sedangkan aku katolik. Aku rasa Evan lebih cocok ma Asti daripada ma aku. “Aduh sorry banget Chez, aku telat ya? Habisnya, aku baru aja datang dari rumah Fifi. Biasalah pelajarannya Bu Meri. Suruh buat presentasi. Tapi enak juga lho diajar ,ma Bu Meri. Ha..ha..ha..”“Oh iya. Ehm… Happy birthday Lofayri Cheznayria. Semoga di tahun ini lebih baik dari tahun kemarin… amien…” katanya kemudian. Aku hanya tersenyum manis dan mengangguk seraya menerima kado darinya. “Ye, telat loe Van! Tadi gue udah ngucapin kata – kata itu. Ganti donk! Dasar kere-atif!” celetuk Alex sambil merangkul pundak Evan. “Emang gue pikirin? Yang pentingkan doanya? Tul gak?” Ya…ya. Makasih deh buat doa kalian. Aku emang bener – bener sayang ma kalian semua. Oh ya, aku lupa belum kenalin diri aku. Namaku Lofayri Cheznayria. Tapi, teman – temaku biasa panggil aku Chezy. Aku sekelas ma 2 sahabatku, otomatis Evan dan Asti. Kita bertiga baru naik ke kelas XI (setara dengan kelas 2 SMA). Kita sekolah di SMA Negeri 7 Surabaya. SMA Negeri yang Gurunya TOP banget deh!. @@@Hari ini aku jalan – jalan ma Asti dan Alex. Kita lagi belanja buat persiapan masuk sekolah. Maklum, tahun ajaran baru dimulai 2 hari lagi. Sebenarnya sih udah mepet, tapi mau gimana lagi. Karena keasyikan liburan, jadinya lupa deh kalau mau masuk sekolah lagi.. He..he..he.. Gak lupa donk, tadi kita ngajak Evan. Tapi katanya dia lagi nemenin saudaranya yang baru datang dari Yogyakrta, jadinya gak enak lha kalau ditinggal. Ya udah jadinya Cuma bertiga. Tapi yah, lebih enak berempat, kan jadi tambah rame…Tapi, yah…. Ah udahlah!Pulang dari Mal, aku bawa barang banyak banget! Dari perlengkapan sekolah, buku pelajaran, seragam sekolah baru dan semua titipan Mama. Huh, dasar Mama, emang paling malas kalo belanja sendiri. Tapi, walaupun begitu, dia tetep Mama aku yang paling OK punya deh!Hari ini adalah awal tahun pelajaran baru. Tapi, aktifitasnya masih belum berjalan lancar karena banyak siswa yang pindah kelas atau pindah sekolah. Saat ini aku sedang duduk sendirian di kebun belakang sekolah. Entahlah, aku merasa ada yang aneh ma Evan. Aku merasa dia menghindari aku. “Chez, kamu itu dicariin daritadi, eh gak taunya ada di sini. Tumben sendirian? Kenapa?” tanya teman sekelas dulu. Aku hanya diam saja sambil tersenyum memandang mereka.“Iya nih. Sepi, daritadi kamu diem aja. Kenapa sih? Cerita donk ma kita. Mybe kita bisa bantu kamu?” Celoteh Varda sambil makan coklat yang bikin tangannya kotor semua. Hua..ha..ha.. Mukanya lucu banget kayak anak kecil. “Gak apa – apa kok. Gak usah khawatir. Ya ampun! Aku ;upa, aku mesti cari Asti! Aku pergi dulu ya.” Kataku sambil beranjak mengambil tas. Aku sedang mencari sosok sahabatku. Aku sebenarnya ingin mengetahui lebih banyak tentang agama Islam. Tapi, orang tuaku melarangku untuk mempelajarinya. Karena mereka gak mau aku pindah agama, maklum keluarga kami memang katolik taat. Jadinya aku mempelajari agama islam itu secara sembunyi – sembunyi. Diam – diam aku mempelajarinya dengan sahabatku. Dan hari ini adalah jadwal kita untuk mempelajari agama itu lebih dalam. Dalam perjalananku mencari Asti, aku melihat Evan. Dia sendirian. Dan kayaknya dia mau ngomong sesuatu denganku… ketika aku mendekatinya, eh, dia malah pergi gitu aja. Aku udah gak kuat dia terus – terusan ngehindari aku. aku harus tunggu dia pulang sekolah nanti! SEMANGAT! “Van, tunggu! Aku pingin ngomong ma kamu. Aku pingin kamu jelasin, kenapa akhir – akhir ini kamu ngehindari aku? aku gak suka cara kamu ini. Kita itu sahabat Van, dari kecil lagi. Kalo aku punya salah ngomong donk. Aku gak mau kamu hindari kayak gitu!” “Gak. Kamu gak salah apa – apa kok Chez. Lagian siapa juga yang hindari kamu? Aku gak hindari kamu kok. Hm, aku ada tugas kelompok nih. Aku pergi dulu.” What? Apa? Itu namanya GAK MENGHINDARI AKU? aku tahu gak ada tugas apa – apa. Kenapa sih dia harus kayak gitu? “Van! OK. Kamu gak perlu jelasin apa – apa lagi. Kamu tahu kan aku paling gak suka dihindari tanpa sebab? Kok kamu gitu? Kamu marah ma aku ta? Huf, ya udah. Aku marah ma kamu. Jangan ngomong apa – apa lagi ma aku. TITIK.” Ungkapku padanya. Akupun berlalu begitu saja dari hadapannya. Siapa sih yang mau di cuekin kayak gitu?“Chez… aku gak bisa bilang kalo aku bakalan pindah jauh banget. Aku gak bisa bayangin reaksi kamu kayak gimana. Aku gak pingin kamu nangis lagi…karena aku sayang kamu Chez… kamu sahabat terbaik aku…”@@@ Tok tok tok. Suara ketukan pintu kamarku membuatku terbangun. Tak lama wajah ayu Mamaku muncul dari balik daun pintu sambil menggenggam telepon.“Chezy? Udah bangun sayang?” Suara Mama membuatku membuka mata. “Kenapa Ma?” Tanyaku masih setengah terlarut dalam mimpiku.“Ada telepon dari kakaknya Evan.” Kata Mama hati – hati. Tapi aku gak perhatiin sikap Mama saat itu. Aku terima telepon yang diberikan Mama padaku. “Hallo?” Sapaku dengan nada yang nyeleneh.“Chez, kakak mau beri kabar. Evan… Evan kecelakaan. Sekarang ada di RSUD. Dr. Soetomo…” DEG! Evan kecelakaan? Dia masuk RS? Kenapa? Tuhan aku gak mau terjadi sesuatu ma dia. Aku gak pingin dia tinggalin aku. pikiranku kalut banget. Aku bingung harus ngapain… aku takut….“Aku kesana sekarang.”Akupun bangun dan bergegas membersihkan diri. Aku harus cepat. Firasatku gak enak banget. Aku gak mau terjadi sesuatu ma sahabatku itu. Kuambil kunci mobil dan kulajukan dengan kecepatan tak biasa. Karena letak RS yang lumayan jauh. “Chez, koen iku ojo banter – banter ta! Koyok wong gendeng mangan sabun ae. Pelan pelan atuh! Bisa jantungan aku. (Chez, kamu itu jangan cepat – cepat! Kayak orang gila makan sabun. Pelan – pelan aja. Aku bisa jantungan).” Kata Asti dengan muka ketakutan. Gak kuhiraukan apa katanya itu. Aku hanya terfokus ke jalan supaya kau bisa cepat sampai di RS dan memastikan kalo Evan baik – baik saja.“Kakak, gimana Evan?” Tanyaku sesampainya di depan kamar Evan dirawat. Aku lihat Kak Ardi begitu sedih. Aku makin khawatir dengan keadaan Evan.“Masuk aja, Chez.”Kubuka perlahan pintu kamar itu. Kulihat tubuhnya diperban… semuanya kacau. Dan …aku gak tau harus mendiskripsikan seperti apa. Yang aku tahu, keadaanya sangat kritis. “Astaghfirullah... Evan.... kamu…” Aku tak mampu berucap banyak kata. Aku juga kaget kenapa aku tiba – tiba mengucap kata yang tak lazim buatku. Entahlah, aku juga tak mengerti kenapa aku bisa mengucapkan kata – kata itu. Padahal sebelumnya aku belum pernah mengucapkannya. “Chezy…sini…” aku menurut saja apa yang dikatakan Evan. Aku mendekati tubuhnya. Dan semakin mendekatkan telingaku. Sepertinya Evan mau ngomong sesuatu. “Chez… aku … aku… aku sayang… aku sayang kamu…” DEG! Aku bingung. Aku gak tahu apa maksud Evan. Tapi yang jelas setelah dia bicara hal itu, detak jantungnya semakin lemah. Aku panik dan tangisku langsung meledak begitu mengetahui hal itu. Refleks aku berterik minta tolong dan memanggil dokter. Tak lama Kak Ardi dan Asti yang mendengar teriakanku, langsung masuk ke dalam. Refleks Kak Ardi langsung keluar untuk memanggil dokter.“As… tolong ..kamu….kamu jagain Chezy…” “Van…” air mataku semakin mengucur deras. Entah mengapa tiba – tiba tubuhku bergerak. Dan bibirku mulai berbicra.“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar…Allahu akbar…”“Allahu akbar… Allahu... akbar… Allahu akbar.”Titttttttttttt@@@Senja mengingatkan pada setiap orang bahwa hari, telah berakhir. Begitu pula dengan kehidupan. Setiap manusia pasti ada ‘akhir’. Sebuah nama terukir jelas pada batu nisan yang ada di hadapanku. Relevan Orient Deka. Seseorang yang sangat berarti bagiku. Semua kerabat telah meninggalkan makam ini. Tapi aku masih disini. Aku masih ingin melihat makam ini untuk terakhir kali.“Van, kamu udah janji ma aku gak bakalan ninggalin aku. Tapi, kenapa kamu ninggalin aku? kenapa kamu ninggalin aku secepat ini, Van? Aku gak tau harus gimana tanpa kamu…” Hatiku begitu hancur. Jiwaku telah rapuh. Ragaku telah sirna. Kini tak akan ada lagi bias senyummu. Tak akan ada lagi kehangatan persahabatanmu. Aku tak tau harus bagaimana. Ngiung…ngiung…ngiung“Chez, apa yang kamu lakuin sih? Kenapa kamu berbuat seperti ini? Apa yang kamu pikirin?”“Aku hanya ingin ketemu ma Evan, As. Aku hanya ingin bersama Evan. Aku kangen ma dia. Aku dan dia pernah janji kalo kita bakalan bersama untuk selamanya. Aku gak ingin ngingkari janji itu!”“Tapi, apa dengan jalan ini kamu berpikir bisa dekat dengan…“Aku hanya ingin dekat dengan Evan, As!!”“Chezy! Sadar donk! Evan itu udah meninggal! Apa kamu juga mau meninggal, hah?! Apa kamu pikir bisa dekat dengan Evan jika kamu meninggal? Gak Chez! Evan justru jadi sedih liat kamu kayak gini! Lihat ke depan donk, Chez! Kita semua sayang kamu…Kita gak pengen kamu sedih kayak gini. Kita juga sedih dengan kepergian Evan, tapi kita gak ingin merusak takdir Allah. Allah gak suka hamba-Nya bunuh diri. Siapapun orang yang berfikir untuk bunuh diri, maka dia gak akan mencium bau surga.”“Tapi As, dia…. Evan udah ninggalin aku. padahal dia udah janji dia gak bakalan ninggalin aku….”“Chez, hidup mati seseorang itu ada di tangan Tuhan. Semuanya hanya Tuhan yang menentukan. Manusia Cuma berencana. Evan meninggal itu udah takdir Tuhan. Kita ambil hikmahnya, Chez. Setiap kejadian, apapun itu pasti ada hikmahnya. Ya?” pelukan dan belaian lembut tangan Asti yang sedang nenangin aku terasa sangat hangat dan menenangkan hatiku. Aku…..“Hiks…Hiks…Ya Allah…Astagfirullah… apa yang udah aku lakukan?” aku hanya bisa menangis sejadi – jadinya. Mama yang ada di sebelahku langsung memeluk tubuhku. Mama, Papa, Alex, Kak Ardi dan Asti masih ada. Mereka masih menyayangiku. Mereka sangat memperhatrikan aku. Kenapa aku bisa lupa semua itu? Bodohnya aku…“Maafin Chezy. Ma, Pa, Kak, As, Lex… Chezy minta maaf karena Chezy gak pernah perhatiin kalian. Padahal kalian terus berusaha supaya Chezy gak sedih tentang kematian Evan. Maaf…” Mama langsung manangis dan memelukku erat – erat. Aku gak akan mengulangi hal ini lagi. Aku akan tetap tegar menghadapi semua cobaan. Aku harus bisa melaluinya. Aku harus kuat. Maafin Chezy Ma. @@@Yesterday is historyTomorrow is mysteryToday is a giftAku memacu diriku untuk menjalani hari – hariku. Setelah hari itu, udah 3 bulan aku, Papa, Mama dan Alex masuk islam. Banyak pihak keluarga yang mengecam kita. Apalagi Alex. Aku tahu dia sangat tertekan dengan semua itu. Tapi dia tetap tabah dan tawakal menjalani semua itu. Aku merasa tenang dengan kepercayaanku ini. Aku merasa hatiku selalu damai dan sejuk. Dan masih banyak lagi perasaan – perasaan yang tak bisa ku ungkapkan.2 tahun telah berlalu. Aku telah Lulus dengan nilai akademik yang begitu memuasakan. Aku dan Asti berencana untuk sekolah di Australia. Dan besok kita akan berangkat kesana. Kita akan menjalani kehidupan baru disana. Aku senang sekali karena orang – orang disekitarku juga merasa sangat senang. “Van, aku ma Asti udah lulus. Besok kita akan berangkat ke Ausie. Dan Alex akan tetep di Indonesia nemenin Mama. Pasti Mama akan kesepian kalo gak ada aku, jadinya aku minta alex buat nemenin Mama dirumah. Toh, dirumahnya, dia juga sendirian. Aku akna tetep doain kamu. Semoga amal kamu diterima oleh-Nya.” @@@Aku telah kembali ke negeri yang aku cintai ini. Di kota yang aku banggakan. Kota pahlawan. kota yang begitu banyak menyimpan kenangan.3 tahun telah berlalu. Tempat ini tetap tidak berubah. Tempat setiap hari kita bercanda dengan teman – teman kita. Disini, kita tertawa lepas dengan anak – anak sekolah kita.. Memang benar kata orang kalau masa SMP adalah masa dimana tak akan terlupakan. Dan aku ingin hari ini lebih baik dari kemarin. Aku juga tetap akan mendoakan agar amal ibadah kamu diterima oleh-Nya. Kini perjalananku masih belum berakhir. Semuanya masih berjalan. Bumi masih berputar. Roda kehidupan terus berjalan. Terima kasih sahabatku. Aku akan tetap menyayangi kalian sampai kapanpun, karena persahabatan sejati itu adalah sahabat yang tak terkira usia dan kehangatannya…


GADIS PERKASA

Oleh: Dion72

Gadis bertubuh kurus itu membawa koran dijajahkan di sekitar perempatan kota. Lampu merah adalah kesempatan menawarkan koran-korannya. Siapa pun yang melewati jalan itu pasti mengenalnya. Mulai pagi sampai siang hari ditanganya ada koran. Siang hari sampai sore ia menjajahkan buku-buku anak. Bahkan sampai malam hari disaat lampu-lampu kota berwarna warni mulai menampakkan keindahannya. Wajah yang kurus serta dadanan yang sangat sederhana apa adanya. Membuat orang yang melihat ibah jadi membeli koran dan barng-barang yang dijajahkan.

Kerasnya hidup ia lakukan demi menyambug hidup dirinya dan keluarganya. Bapaknya meninggalkannya ketika ia masih berumur 2 tahun. Saat itu ibunya yang bersusah paya membesarkannya. Sepeniggal banaknya ibunya mengumpulkan plastik, kardus, botol dan barang lain yang dapat dijual dari tempat-tempat dan tong-tong sampah. Sang ibu berjalan dari jalan-jalan kampung, loorong-lorong sempit tak terhitung berapa jauhnya ia temouah dengan berjalan kaki. Sambil menggendong anak tercinta semata wayang ia mengais rezki dari pagi sampai petang. Rupanya sang waktu terus berjalan tidak terasa menyota usia dan kesehatanya. Tubuhnya semakin berta untuk berjalan apalagi beban dan beratnya hidup membuat sang ibu sekarang sakit. Tubunhnya lemah. Sesekali batuk dan mengeluarkan dahak bercampur darah. Matanya yang agak rabun membuat kesulitan untuk berjalan dan mengambil apapun di rumahnya.

Itulah yang membuat anaknya harus menggantikan mencari sesuap nasi dan biaya untuk membeli obat.

Tina berangkat sekolah dengan semangat. Tas di kalugkan di pundak. Baju yang agak kusut serta sepatu yang tidak jelas warnanya. Gadis itu berjalan melewati gang-gang kampung menuju sekolah yang jaranya kurang lebih 5 km. Sampai di depan sekolah Tina langsung menuju ke kelasnya. Bel belum berbunyi. Teman-teman Tina masih asik bermain di kelas dan di luar. Mereka bernyanyi, certia ini dan itu dan ada yang mengerjakan tugas.Tina mendekati Sari perlahan. ”Sar!” ada tugas apa?” tanya Tina di bangku Sari. ” Tidak ada, ini hanya menyalin catatan kok”. Jawab Sari.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com